Apa yang Kita Tinggalkan?

Hari ini saya berpikir, apa yang akan saya tinggalkan ketika saya meninggal? Saya tidak mungkin membawa apapun saat meninggal, jadi setidaknya saya ingin meninggalkan sesuatu saat saya meninggalkan dunia ini.

Sampai sekarang saya belum pernah mendapatkan pencapaian yang berarti dalam hidup saya. Saya belum pernah menerbitkan satu pun buku, merealisasikan rancangan bangunan, ataupun mendapatkan penghargaan. Selama ini saya menjalani hidup dengan biasa saja. Tapi kok rasanya ada yang kurang ya? Sepertinya saya tidak memiliki tujuan untuk dicapai dalam hidup ini. Kalau saya meninggal pun sepertinya tidak akan ada yang masih mengingat saya dalam waktu puluhan tahun yang akan datang. Berbeda sekali dengan Archimedes, Vitruvius, Shakespeare, Mozart, Newton, Einstein, dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang masih diingat puluhan bahkan ratusan tahun setelah mereka tiada. Kalau dipikir-pikir, mereka tetap dikenang karena telah meninggalkan sesuatu yang berguna bagi umat manusia, entah itu karya seni ataupun karya ilmiah. 

Memang, ada yang dikenang pula karena kesengsaraan yang mereka timbulkan semasa mereka hidup. Namun saya rasa tidak ada orang yang ingin dikenang karena perbuatan buruknya. Menurut saya semua orang pasti menginginkan orang lain mengingat kebaikan mereka dibandingkan kekurangan mereka.

Kemudian saya berpikir, apa yang bisa saya tinggalkan di dunia ini yang dapat berguna bagi orang lain? 

Bahagia Itu Sederhana

Saat band favorit saya mengeluarkan lagu baru.

Saat band favorit saya mengeluarkan video baru.

Saat melihat foto terbaru dari band favorit saya

Saat melihat langit cerah

Setelah makan

Saat membaca komik yang baru terbit

Saat koneksi internet sedang cepat

Saat bertemu teman kembali setelah libur semester

Saat makan bersama teman

Saat pertama kali mengirim paket ke luar negeri

Itu baru sebagian kecil kebahagiaan yang saya rasakan dari hal-hal kecil. Ternyata setelah didaftar, banyak sekali hal-hal yang bisa membuat saya bahagia, yang akhirnya malah tidak saya hiraukan karena telah menjadi rutinitas.

Mimpi

Sudah lama tidak mengepost blog ya. Padahal awal saya membuat blog ini kan untuk melatih kemampuan menulis saya. Berarti hampir setahun saya tidak latihan.

Sekarang saya sudah menginjak semester delapan. Seharusnya ini adalah semester terakhir saya, sayangnya saya harus mengulang satu semester karena tidak lulus studio. Semoga tidak ada penundaan lagi.

Semester ini saya menjalani SAA, Studio Akhir Arsitektur. Sekarang sudah mau sidang kedua. Saya akui saya menjalani SAA tidak dengan sepenuh hati. Ada beberapa masalah sejak awal pelaksanaan SAA yang terus membebani pikiran saya. Sepertinya memang sulit melepaskan beban pikiran.

Selama asistensi, dosen pembimbing saya terus mengingatkan untuk bermimpi. Satu hal yang saya lupakan selama ini. Sepertinya saya melakukan perancangan hanya sebagai kewajiban agar bisa lulus. Saya tidak memikirkan diri saya sendiri, hanya memikirkan bagaimana supaya tugas ini cepat selesai. Bahkan mungkin saya lupa caranya untuk bermimpi, atau memperjuangkan mimpi saya.

Kalau dipikir-pikir, sudah berapa banyak mimpi yang berhasil saya wujudkan? Berapa banyak mimpi yang saya tinggalkan? Kalau keduanya ditimbang, sepertinya mimpi yang saya tinggalkan lebih berat. Saya bukan orang yang terbiasa berjuang. Terlalu banyak kemudahan yang saya miliki sehingga ketika saya menghadapi kesulitan saya memilih untuk memalingkan wajah saya dan mencoba sesuatu yang lain.

Di sela-sela rak buku saya, ada secarik kertas yang saya tulis ketika SMA. Isinya adalah “lulus S1 Cum Laude”. Saat itu saya masih sombong, merasa bahwa saya dapat melakukan segalanya. Saya bisa mendapat peringkat tinggi di sekolah, saya pikir Cum Laude adalah sesuatu yang mudah. Nyatanya saya harus berusaha sekuat tenaga agar IP saya bisa di atas 3. Nilai 3,5 terlihat jauh dari jangkauan saya. Atau karena saya masih belum mengeluarkan seluruh kemampuan dan kemauan saya? Saya akui saya masih belum tahu sampai manakah saya bisa berusaha untuk mencapai tujuan saya.

Ada juga daftar ‘wishlist’ yang saya buat saat SMA. Dari 40 poin, baru 3-4 yang terpenuhi. Salah satu poin yang saya tidak bisa penuhi baru-baru ini adalah menonton konser L’Arc~en~Ciel, band Jepang pertama yang saya sukai sejak SMP. Waktu SMA, saya paling semangat kalau mendengar rumor kedatangan Laruku ke Indonesia. Harapan saya pupus ketika mengetahui waktu konser mereka adalah di saat opzet SAA. Saya sempat ingin nekat membolos dua hari opzet, tapi saya pikir-pikir lagi, siapkah saya mengorbankan SAA? Bisa dibilang opzet itu adalah saat-saat ketika striker bersiap menendang bola ke gawang lawan. Saat yang kritis, serta tahap akhir dalam proses SAA. Jika gagal, berarti saya juga menggagalkan proses yang sudah saya jalani selama berminggu-minggu. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak menonton konser mereka.

Sedih? Tentu. Perasaan kecewa itu terus menghantui sampai sekarang. Saya ingin mengubah energi yang saya salurkan pada kekecewaan tersebut menjadi energi untuk berjuang mengerjakan SAA. Jangan sampai pengorbanan saya tidak menonton konser Laruku dibayar hanya dengan nilai C. Doakan saya ya.

 

P.S.

Saya mulai mendengarkan band Jepang, ONE OK ROCK. Lirik mereka banyak bercerita tentang mimpi. Semoga lagu mereka dapat memberiakan semangat.

Dream as you will live forever. Live as if you’ll die today. – C.h.a.o.s.m.y.t.h – ONE OK ROCK –

Dreams aren’t just something that you look at. They are things that you work towards, no? – Yume Yume – ONE OK ROCK –